Pendidikan Anak Tanggung Jawab Orangtua

Pendidikan Anak Tanggung Jawab Orangtua
Pendidikan, sejatinya dimulai sejak dalam kandungan hingga liang lahat. Bahkan sejak sebelum menikahi pasangannya, seorang laki-laki seyogyanya harus sudah selektif dalam memilih siapa yang akan mendampingi hidupnya. Hingga kelak wanita yang beruntung tersebut menjadi ibu dari anak-anaknya. Kalau ditilik lebih jauh, mungkin ada benarnya juga istilah bibit, bebet dan bobot yang menjadi pertimbangan ketika memutuskan untuk menjadikan si wanita sebagai istri sehidup sesurganya.

Begitu pula sebaliknya. Hendaknya seorang wanita, juga perlu mempertimbangkan bibit, bebet dan bobot si lelaki yang hendak meminang untuk menjadikan dirinya istri. Tapi kembali lagi, jodoh itu rahasia Ilahi. Kita tidak akan tau, siapa, kapan, dimana dan bagaimana cara Allah mempertemukan jodoh kita. Ada yang disegerakan, namun ada juga yang butuh waktu lama. Bagaimanapun, harapannya adalah menikah sekali untuk selamanya. Jadi, dinikmati sajalah prosesnya.

Bicara tentang pendidikan, seorang wanita haruslah ‘pandai’. Meski tidak sekolah tinggi, ia semestinya bisa mengambil semua pelajaran yang ada di lingkungan sekitarnya. Untuk kemudian mengaplikasikannya dalam kehidupan. Bahkan dari pengalaman inilah, guru yang sesungguhnya. Terlebih, jika ia memiliki kesempatan untuk sekolah hingga level yang lebih tinggi. Kelak ilmu yang telah diupayakannya itu akan berguna bagi kelangsungan hidupnya, sampai ia berkeluarga dan memiliki anak.

Pada tulisan kali ini, saya akan berbagi pengalaman yang merupakan bagian kecil dari episode perjalanan rumah tangga yang kami lalui. Yaitu pengalaman pertama istri melahirkan. Waktu dimana suami mendampingi saya dalam menjalani kehamilan hingga melahirkan anak pertama, duapuluh satu tahun silam. Sudah lama sekali, bukan?

Hadirnya Sang Jodoh

Dahulu, saat memutuskan untuk menikah, saya tidak banyak pertimbangan. Apalagi ketika direferensikan oleh mak comlang, yang tidak lain adalah guru saya, saya yakin sekali bahwa calon saya ini adalah laki-laki yang saleh, mandiri dan baik hati. Sehingga tidak ada alasan untuk menolak lamarannya. Dan, dengan proses cepat, menikahlah kami.

Menikah disaat masih kuliah semester awal, memiliki konsekuensi tersendiri. Harus bisa berbagi waktu, berbagi tenaga dan pastinya juga berbagi dana. Suami yang saat itu berprofesi sebagai karyawan di sebuah perusahaan asuransi syariah, memiliki penghasilan yang tidak besar. Namun kami senantiasa bersyukur. Mengelola keuangan dengan detail, memenuhi pos-pos pengeluaran dengan segala serba-serbinya.

Tidak perlu menunggu lama. Satu purnama sejak ijab qabul dengan acara resepsi yang sederhana, alhamdulillah saya dinyatakan hamil. Sungguh pengalaman yang emejing. Saat itu saya masih kuliah di salah satu universitas negeri di Jakarta, tepatnya di Rawamangun Jakarta Timur, sementara kami tinggal di daerah Tanjung Barat Jakarta Selatan. Karena belum punya kendaraan pribadi, kami biasa naik metromini. Setiap hari berangkat bersama. Saya ke kampus, suami ke kantor. Perjalanan yang kami tempuh searah. Jadi bisa berangkat bersama-sama.

Trimester Pertama

Dalam kondisi hamil muda, seringkali kami harus berhenti dan turun dari metromini di tengah perjalanan, karena saya pusing dan mual-mual. Kemudian kami langsung mengambil posisi agak menepi mendekati selokan. Saya langsung huek-huek tidak karuan. Sungguh tidak nyaman. Huft.
Jika boleh memilih, saat-saat hamil muda seperti itu, enaknya hanya berbaring nyaman di kamar, peluk guling dan dengan menggenggam minyak angin di tangan. Jadi jika mual mulai terasa, tinggal oles-oles dan cium-cium aromanya. 

Karena memang yang saya rasakan saat itu bawaannya mager, dan tidak ingin melakukan apa-apa. Mencium bau-bau sedikit langsung muntah. Ke dapur, ke kamar mandi, paling saya hindari. Termasuk dekat-dekat dengan suami. Tidak tau kenapa, hidung rasanya begitu sensitive. Ya Allah, kok begini ya? Alhamdulillah, suami begitu pengertian dan tau betul bagaimana membuat saya nyaman.

Pernah suatu ketika, saya menginginkan suatu jenis makanan. Ndelalah, kok ya itu makanan yang biasa banyak dijual di beberapa tempat, saat itu tidak ada. Karena sudah pada tutup kiosnya. Sederhana sih, saya hanya ingin gado-gado. Cuma karena waktunya aja yang tidak tepat, ya akhirnya tidak kesampaian. Ingin marah rasanya, tapi saya hanya bisa menangis. Tidak lama kemudian suami keluar untuk mencari di tempatlain. Barangkali masih ada yang jualan.
Saat itu hari sudah sore, ia pulang dengan membawa bungkusan. Senang sekali rasanya. Tapi, setelah tau isi bungkusan itu, ya pasrahlah saya.

“Gado-gadonya ga ada Dek, abang beliin ketoprak ga papa ya? kan mirip rasanya.” Ujarnya.

“Ya Allah, udah nunggu lama-lama, ga dapat juga gado-gadonya,” batin saya. 

Kecewa sih. Udah berharap banget, nyatanya? Cuma dapat ketoprak. Hiks. Tapi ya sudahlah. Kasihan juga suami, seharian keliling-keliling cari ke sana kemari. Akhirnya saya berusaha untuk makan, walau tidak banyak. Yang penting sudah icip-icip, selesai. Ternyata, begini rasanya nyidam. Inilah sekelumit cerita tentang masa nyidam yang saya rasakan di trimester awal kehamilan anak pertama saya. Sebenarnya kalau menurut saya, ini wajar sih, karena tidak minta yang aneh-aneh. Hanya ingin makan yang segar-segar. Dan ini pun tidak terjadi berkali-kali.

Memang, ada sebuah mitos tentang ibu hamil yang pernah saya dengar. Bahwasanya, apabila ibu hamil merasakan nyidamdan menginginkan sesuatu, hal itu harus dipenuhi, karena jika tidak, akan berpengaruh terhadap bayi. Bayinya nanti ileran. He, he. Kalau mau apa-apa katanya bawaan orok. Tapi, apakah memang seperti itu? Saya pribadi tidak percaya sih, namanya juga mitos. Buktinya, di kehamilan kedua hingga kelima, alhamdulillah saya tidak merasakan hal yang sama.

Trimester Kedua

Alhamdulillah, masa-masa tidak nyaman di trimester awal telah berlalu. Kehamilan saya memasuki trimester kedua. Dengan perut yang semakin membuncit, saya menjalani hari-hari dari rumah ke kampus, kampus ke rumah. Lelah rasanya. Karena perjalanan yang saya tempuh setiap harinya memang cukup jauh. Tugas kuliah yang semakin banyak. Ditambah pekerjaan rumah tangga yang juga harus dilakukan setiap hari. Lengkap sudah. Bersyukur suami begitu support dan perhatian. Kami jalani bersama-sama. Saling dukung dan saling bantu.

Menjelang Persalinan

Memasuki trimester terakhir, perkuliahan masih tetap berlanjut. Semakin susah payah karena perut semakin membesar, gerak semakin terbatas, dan mudah lelah. Saat itu sempat bimbang, apakah kuliah tetap lanjut, atau ambil cuti. Karena jika sudah melahirkan nanti, pastinya akan sibuk urus baby. Mana mungkin bisa kuliah, pikir saya. Hal ini saya sampaikan ke suami, kira-kira bagaimana baiknya.

Dengan beberapa pertimbangan akhirnya saya memutuskan untuk lanjut. Pikir saya, kalau sudah cuti, pasti ujung-ujungnya malas untuk melanjutkan perkuliahan. Dan kemungkinan bisa mandeg karena sudah keenakan dengan rutinitas baru mengurus bayi.

Memikirkan itu jadi mules sih, karena itu artinya saya harus tetap menjalani aktivitas perkuliahan di kampus dan meninggalkan si kecil di rumah. Nanti siapa yang mengasuh? ASI-nya bagaimana? Apa semua akan baik-baik saja? Pikiran-pikiran itu wira-wiri dikepalaku. Bismillah, dijalani aja deh. Tidak usah dipikirkan. Malah bikin galau.

Akhirnya waktu persalinan yang mendebarkan itu pun tiba. Dengan didampingi suami, menjelang subuh di tanggal 20 Januari 2000, anak pertama kami, Usamah Rabbani lahir dengan normal, lancar dan selamat. Alhamdulillah. Semoga bisa menjadi penenang hati, penyejuk jiwa, dan pemimpin orang-orang yang bertakwa.

Mulai saat itu, kami menjalani hari-hari dengan berbeda. Di tengah-tengan kami sudah ada seorang bayi mungil yang merupakan amanah yang harus kami jaga. Walau kondisi saat itu belum kondusif, dimana saya harus tetap melanjutkan perkuliahan. Saya siasati dengan meminimalisir waktu saya di kampus dan pendekatan dengan dosen. Kehadiran saya yang minim karena harus mengurus bayi, bisa digantikan dengan penugasan-penugasan yang dapat saya kerjakan dari rumah. Alhamdulillah semua Allah mudahkan hingga saya lulus sarjana tanpa harus mengambil cuti.

Pendidikan Anak Tanggung Jawab Orangtua

Perhiasan Dunia

Terakhir, kami menyadari bahwa anak merupakan perhiasan. Tentunya, dibutuhkan upaya untuk menjaga perhiasan tersebut sebaik-baiknya. Yaitu dengan membekali mereka dengan pendidikan yang baik. Hingga mereka betul-betul menjadi pribadi yang saleh dan saleha, penyejuk pandangan mata, memiliki keluhuran budi pekerti, dan akhlak yang mulia. Karena ianya adalah salah satu penyebab masuknya orangtua ke dalam surga-Nya. Insyaallah.

Belum ada Komentar untuk "Pendidikan Anak Tanggung Jawab Orangtua "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel